Conheça também

0

Berfikir Dan Mentadabburi Keimanan Melalui Al-Qur’an

Kamis, 29 Desember 2011.

Wawasan keislaman. sebagai seorang muslim menjadi keniscayaan bagi dia untuk memperluas wawasan keislaman. Sebab dengan wawasan keislaman akan memperkokoh keyakinan keimanan dan daya manfaat diri untuk orang lain.
 Pola pikir islami. Pola pikir islami juga harus dibangun dalam diri seorang muslim. Semua alur berpikir seorang muslim harus mengarah dan bersumber pada satu sumber yaitu kebenaran dari Allah swt. Islam sangat menghargai kerja pikir umatnya. Di dalam al-qur’an pun sering kita jumpai ayat-ayat yang menganjurkan untuk berpikir: “afala ta’qiluun, afala tatafakkaruun, la’allakum ta’qiluun, la’allakum tadzakkaruun,”
Seorang muslim harus senantiasa menggunakan daya pikirnya. Allah mewujudkan fenomena alam untuk dipikirkan, beraneka macamnya tingkah laku manusia sampai adanya aneka pemikiran dan pemahaman manusia hendaknya menjadi pemikiran seorang muslim. Tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa tujuan berpikir tidak lain adalah untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah subhânahu wa ta`âlâ bukan sebaliknya.
Terus kalau kita ingin memproyeksikan hakekat iman dengan kondisi kaum muslimin pada masa kini maka hasilnya akan menuntut kita untuk lebih merenung, dimana kejayaan kaum muslimin ? Dimana harga diri kaum muslimin, bahkan dimana harga darah seorang muslim di mata kaum muslimin sendiri ? Dimana kepemimpinan, kejayaan kaum muslimin diatas kaum yang lainnya ? Dimana solidaritas sesama kaum muslimin, alam skala nasional, regional maupun internasional ?
Ketika kita berfikir sampai jauh seperti itu kita akan berusaha bagaimana kita bisa mencapai atau menemukan titik terang dari itu semua. Kita harus sadar sebagai orang muslim yang mana semua itu jadi tanggung jawab kita untuk berfikir mencari titik terang melalui Al-qur’an karna hanya Al-qur’an yang paling utama dibuat pedoman atau jalan untuk berfikir bagai mana melalui semua itu. Dan kita bisa belajar dari rasulullah dan sahabat-sahabat rasulullah yang mana mereka mencari semua itu melalui al-qur’an.
Seperti sabdanya Rasulullah Saw,yang mana ini juga disebut rintihannya kepada rabbnya dengan mengatakan:
"Berkatalah Rasul wahai Robbku sungguh kaumku telah menjadikan Alquran ini sesuatu yang ditinggalkan”.
Ditinggalkan karena mereka tak membacanya, atau tidak mau merenungi ma’nanya atau tidak mau mengamalkan isinya.
Yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan diatas adalah kita bersama merenungi sambutan Rasulullah dan para sahabat terhadap Al-qur’an dan bagaimana kedudukan Al-qur’an dihati mereka.
Kita bisa belajar dari itu semua bagaimana berfikir atau bertadabur melalui Al-qur’an.
Bagaimana Al-qur’an dihati Rasulullah dan para sahabat ?
Pertama : Para sahabat memandang kebesaran Al-qur’an dari kebesaran yang menurunkannya, kesempurnaannya dari kesempurnaan yang menurunkannya, mereka memandang bahwa Al-qur’an turun dari Raja, Pemelihara, Sesembahan yang Maha Perkasa, Maha Mengetaui, Maha Kasih Sayang.
Dari pandangan ini mereka menerima Al-qur’an dengan perasaan bahagia campur perasaan hormat siap melaksanakan perintah dan perasaan cemas dan harapan, serta perasaan kerinduan yang amat dalam, bagaimana tidak ? karena orang yang membaca Al-qur’an berarti seakan mendapat kehormatan bermunajat dengan Allah Swt sekaligus seperti seorang prajurit menerima perintah dari atasan dan seorang yang mencari pembimbing mendapat pengarahan dari dzat yang maha mengetahui.
 Kedua : Rasulullah dan para sahabat memandang Al-qur’an sebagai obat bagi segala penyakit hati dan ketika mereka membaca Al-qur’an yang berbicara tentang segala kelemahan hati, penyakit hati, mereka tidaklah merasa tersinggung bahkan mereka berusaha mengoreksi hati mereka dan membersihkan segala sifat yang dicela oleh Al-qur’an dan berusaha bertaubat dari apa yang dikatakan buruk oleh Al-qur’an .
Maka sudah pantaslah ketika Al-qur’an banyak menceritakan sifat-sifat munafiq mulai dari malas sholat, dzikir sedikit, pengecut, mengambil orang kafir sebagai pemimpin dan lain-lainnya, para sahabat segera mengkoreksi hati mereka dan mencari obatnya walaupun mereka tidak dihinggapi penyakit itu.
Ketiga : Para sahabat memandang bahwa Al-qur’an adalah nasehat dari Dzat yang amat sayang dengan mereka yang sangat perlu didengar yang berarti mereka sangat menyadari kalau mereka bisa salah, tapi akan segera kembali kepada kebenaran manakala ada teguran dari Al-qur’an.
Sahabat hidup dengan misi, “Risalah menyelamatkan seluruh manusia dari perbudakan manusia untuk manusia menuju penghambaan Allah yang Esa dan mengeluarkan mereka dari kedhaliman sistem manusia menuju keadilan Islam dari kesempitan dunia menuju keluasan dunia dan akhirat”, dan pastilah kaum yang membawa misi demikian ada pendukung dan musuhnya, maka mereka menjadikan Al-qur’an sebagai pembimbing untuk mengetahui musuh-musuh Allah Swt, dan musuh mereka, siapa wali-wali mereka dan wali-wali Allah Swt dan mereka memperlakukan manusia sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Allah Swt, mereka cinta terhadap ayah, anak, istri, serta kerabat mereka. Tetapi jika yang dicintai itu memusuhi Allah Swt dan Rasul-Nya serta membenci Islam, maka mereka segera merubah sikapnya dengan hanya memihak Allah Swt dan mencabut perasaan cintanya kepada selain Allah.
Keempat : Para sahabat memandang bahwa seluruh alam semesta dan diri mereka adalah ciptaan Allah Swt dan tidak mungkin membudidayakan alam semesta serta mengatur mereka kecuali Dzat yang menciptakannya sehingga mereka meyakini bahwa keimannya menuntut untuk menjadikan Al-qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak dipisahkan antara satu sama lainnya, mereka menjadikan Al-qur’an sebagai way of live pedoman hidup mereka dan mereka sangat sensitif terhadap usaha-usaha yang akan memisahkan satu bagian sistem Islam dengan bagian yang lainnya.
Pantaslah kalau Kholifah Abu Bakar berpidato ketika banyak orang yang murtad dan tidak mau membayar zakat, dengan mengatakan :
“Apakah agama ini akan dikurangi padahal saya masih hidup, demi Allah Swt kalau mereka menghalangi tali yang mereka serahkan kepada Rasulullah pastilah aku perangi mereka atas keengganannya”.
Mereka menyadari betul adanya perbedaan antara orang yang belum mampu melaksanakan, dengan orang yang sengaja memilih-milih apa yang mau dilakukan dan apa yang ditolak.
Kelima : Para sahabat memandang bahwa Al-qur`an adalah kasih sayang dari Allah Swt,  maka mereka melihat bahwa seluruh isi Al-quran baik aqidahnya, hukumnya, perintahnya, larangannya, berita–beritanya adalah untuk kebaikan manusia, maka mereka menerimanya dengan senang hati, adapun yang menolak hukum Islam pada dasarnya adalah lebih memihak para pemeras orang lemah dari pada memihak orang yang diperas, lebih sayang dengan para pembunuh dari pada yang dibunuh atau lebih memihak para penggarong dan pemerkosa dari pada yang di garong dan diperkosa, lebih memihak musuh Allah Swt dari pada memihak Allah Swt, dan secara implisit menuduh Allah Swt keras dan zdolim, orang yang semacam ini perlu intropeksi akan hakekat keimanannya.
Para sahabat menjadikan Al-qur’an sebagai penerang hakekat hidup, dari Al-qur’an mereka mengetahui bahwa dunia ini hanya seperti tanaman di ladang yang hijau kemudian menguning dan hancur, maka mereka sangat zuhud dengan dunia mereka mengetahui dari Al- qur’an bahwa riski, umur sudah ditentukan oleh Allah Swt, tidak akan berkurang karena perjuangan, maka mereka terus berjuang dan berjihad tak takut mati dan tak takut kehilangan harta, mereka mengetahui bahwa mereka diciptakan dalam kondisi bertingkat-tingkat dalam hal ekonomi, kecerdasan dan kekuatan fisik untuk menguji mereka akan tugas yang mereka pikul, maka ketika mereka menjadi para gubernur dan khalifah mereka melihat itu semua sebagai tugas bukan suatu kehormatan, apalagi ketika mereka mendengar Rasulullah bersabda seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori-Muslim: “Tidaklah ada seorang hamba yang dijadikan Allah Swt memimpin rakyat kemudian tidak serius dalam memikirkan kemaslahatannya kecuali tidak akan mencium baunya surga”.
Terahir kali, itulah sifat dan interaksi para sahabat dengan Al-qur’an dan semoga kita bisa mencontoh mereka, mereka telah bersusah payah untuk kebahagiaan kita dan rasa lelah mereka sudah hilang dan mereka telah bahagia untuk selama-lamanya dan didunia sejak zaman mereka sampai hari kiamat selalu dikenang dan dido’akan orang yang datang setelah mereka, alangkah bahagianya mereka.
                Maka dari itu kita harus sadar bertapa berat beban mereka yang memperjuangkan imannya dan kita harus ingat mereka memantapkan imannya dan berfikir melalui Al-qur’an.

Deixe seu Comentário:

Posting Komentar

 
KILE' BLOG © Copyright | Template By Mundo Blogger |
Subir