Conheça também

0

Belajar Dari Kisah Ibrahim Mencari Tuhan

Kamis, 29 Desember 2011.

Manusia lahir kedunia tanpa dibekali ilmu pengetahuan baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun pihak lain diluar dirunya, seperti masyarakat dan alam sekitarnya, sebagaimana ditegaskan Allah didalam surat An-Nahl ayat 78 yang artinya : “ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur ”.
                Namun Allah Yang Maha Bijaksana tidak menyia-nyiakan manusia dan juga makhluk lain yang telah diciptakan  dengan menurunkan Al-quar’an sebagai petunjuk bagi mereka.
Dalam Al-qur’an, konsep pencarian Tuhan hanya difirmankan dalam kisah  Nabi Ibrahim. yaitu termaktub dalam surat al-An’am ayat 76-79, “Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam” (76). “Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, Pastilah Aku termasuk orang yang sesat"(77). “Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, Ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan” (78). “ Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (79).
Nabi Ibrahim merupakan bapak Tauhid umat islam, meskipun Nabi Ibrahim hidup 20 abad yang lalu, tetapi kisah ini dapat dijadikan ibrah tentang pencarian Tuhan bagi umat manusia sepanjang masa. Dalam kisah ini, kita jangan menganalisis menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan sekarang yang sudah maju, tetapi kita analisis dari zaman, kapan kejadian ini berlangsung.
                Pertama Ibrahim melihat sebuah bintang, kemudian bintang itu tenggelam, Ibrahim kemudian berkata, “Aku tidak suka apa-apa yang tenggelam. Dalam benak Ibrahim Tuhan mustahil tenggelam. Analisis inilah yang menjadi keyakinan pokok dalam pemikiran Ibrahim. Lalu, Ibrahim melihat bulan yang dalam pengelihatannya lebih terang ketimbang bintang. Lalu ketiaka bulan tenggelam , Ibrahim berkata yang berbeda dari ucapanya ketika melihat bintang tenggelam,” sesunguhnya jika Tuhanku yang aku cari tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku temasuk orang yang sesat”. Disini kita bisa tahu bagaimana analisis Ibrahim telah sampai kepada Tuhan yang sebenarnya masih ia cari. Disini , ia menyadari bahwa Tuhan yang entah apa dan siapa, yang sedang ia cari itu, pasti akan memberikan kepadanya petunjuk kepadanya untuk sampai kepada keimanan dan keyakinaan yang benar.
Kemudian Ibrahim, melihat matahari. Sampai disini, Nabi Ibrahim mendapati sesuatu yang cahayanya begitu terang. Akan tetapi , karena patokan Ibrahim adalah Tuhan mustahil tenggelam, sehingga ketika matahari tenggelam, ia berkesimpulan bahwa Tuhan bukan bintang, bulan, ataupun matahari. Kemudian dengan lantang Ibrahim berkata, "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Dalam analisis Ibrahim Tuhan adalah pencipta langit dan bumi.
Dalam ayat ini, kata “melihat” memakai kata Ra’a, yang dalam bahasa arab berarti melihat secara aqliyah atau imajinatif sedangkan untuk mengungkap perbuatan melihat secara ragawi , memakai kata نظر (nadzara).
                Sungguh kisah ini menyadarkan kita akan ketangguhan dan kehebatan pemikiran Ibrahim. Dalam mencari Tuhan ia mengandalkan rasionya, yang diisyaratkan dengan ketakjuban ketika meihat bintang, bulan, dan matahari. Akan tetapi, bukan hanya rasio yang ia pakai dalam mencari Tuhan. Ibrahim berkata dalam ayat ini, "Saya tidak suka kepada yang tenggelam."  Kata “suka” atau “cinta” disini mempunyai makna bahwa menurut Ibrahim, Tuhan haruslah disukai atau dicintai. Kata “suka” jelas mempunyai arti suatu perasaan tertentu yang terjadi dalam hati. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa dalam mencari Tuhan, Ibrahim tidak semata-mata melakukan perenungan aqliyah, tetapi dibarengi  pula dengan perenungan qalbiyah. Akal membawa Ibrahim pada ketakjuban terhadap Tuhan, sedangkan hati mengantarkan pada kecintaan terhadap Tuhan . Ibrahim bertuhan tidak dengan takut atau mengharapkan imbalan surga, akan tetapi dengan takjub dan cinta. Inilah pelajaran pertama yang dapat kita ambil dari kisah Ibrahim, sikap bertuhan dengan takjub dan cinta.
                Dalam ayat ini Ibrahim berkata, ”aku tidak suka apa-apa yang tenggelam”. Disini Ibrahim merasakan bahwa Tuhan tak mungkin tenggelam. Rasa Ibrahim ini, bukan irasional, melainkan pascarasional, dan tidak rasionalistik tetapi rasional. Pengertian rasional disini berarti ide tentang Tuhan adalah benar bukan karena ide itu bisa dibuktikan, melainkan ide itu bisa dibuktikan karena benar. Artinya, manusia tak mungkin melakukan pembuktiyan aqliyah kecuali terhadap hal-hal yang secara apriori dirasakan atau diketahuinya tanda-tanda yang menunjukan keselarasan dengan substansi yang akan dibuktikan.
Mulanya Ibrahim merasakan secara apriori akan adanya sesuatu yang Maha (Tuhan). Lalu ia berasumsi bahwa sesuatu yang Maha tak mungkin tenggelam. Ia berkesimpulan bahwa Tuhan bukanlah bintang, bulan atau matahari. Lalu ia beriman bahwa Tuhan adalah pencipta langit dan bumi. Ibrahim tak melakukan rasionalisme karena ide tentang Tuhan sampai kapan pun tak akan bisa dibuktikan dalam diskursif rasional yang jelas atau emperik. Artinya, sampai kapan pun Tuhan tak akan bisa terumuskan secara tuntas apalagi sempurna.
                Dari demensi rasa ini pun, kita paham bahwa ide tentang Tuhan tak bakal bisa ditolak. Sebab, ketika Tuhan yang dikenal kaum beragama ditolak maka pada saat itu pula si-penolak telah merasakan dan mengimani Tuhan yang lain. Oleh karena itu, kurang tepat kiranya jika apa yang dikenal dengan sebutan ateis (a berarti tidak, teis berarti bertuhan) didefinisikna sebagai orang yang tidak bertuhan.
                Sebagai contoh, ketika kaum marxis menolak Tuhan sebenarnya mereka merasakan dan mengimani Tuhan yang berada dalam tataran metafisik, yang mana mereka tak berani untuk menyebutnya sebagia Tuhan. Oleh karena itu, ungkapan yang benar tentang kaum Marxis bukannya mereka yang tidak bertuhan, melainkan mereka ada dalam keraguan. Tapi sebanarnya mereka berkata “aku tidak tahu”. Alqur’an menyinggung masalah ini dalam surat al-Jatsiyah ayat 24,  “Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.
                Akhirnya,dari sini kita tidak bisa memilah-milah antara akal dan hati, artinya tidak antar hati dan akal harus sinergis, sebagaimana yang dilakukan Nabi Ibrahim. Memisahkan antara keduanya akan menghasilkan kesimpulan yang parsial atau tidak utuh untuk. Karena masing masing itu mempunyai kekuragan dan batasan sehingga penggabungan keduanya sangat di butuhkan agar dalam pemaham kita akan sesuatu akan utuh.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Deixe seu Comentário:

Posting Komentar

 
KILE' BLOG © Copyright | Template By Mundo Blogger |
Subir